Rabu, 10 September 2008

PAUD DESA MISKIN

Menatap Masa Depan PAUD Kita

Oleh Nur Khasanah

TULISAN Paulus Mujiran berjudul “PAUD bagi Anak Miskin” (Suara Merdeka, 11/8), menarik untuk disikapi, sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang tegas, terfokus dan adil bagi masyarakat.

Apa yang diuraikan Paulus Mujiran benar, bahwa masih ada sebagian anak-anak bangsa yang kurang beruntung dan tidak bisa mengenyam pendidikan yang nyaman untuk mengisi kehidupan masa kecilnya.

Meskipun pendidikan anak usia dini (PAUD) sudah berkembang di sana-sini, ternyata angka pastisipasi masyarakat terhadap PAUD tergolong masih rendah dibandingkan negara-negara lain. Data Unesco (2005) menyebutkan, angka partisipasi PAUD Indonesia tergolong paling rendah di dunia, yakni baru sekitar 20% dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun. Lebih rendah dari Thailand (86%), Malaysia (89%), bahkan Filipina (27%) dan Vietnam (43%).

Jumlah anak usia dini Indonesia hingga akhir 2006 tercatat sebanyak 28.364.300. Tetapi yang sudah menikmati layanan pendidikan anak usia dini, baik formal dan nonformal, baru sekitar 13.223.812. Artinya, lebih dari separuh anak-anak usia dini belum terlayani pendidikannya.

Tentunya semua itu menjadi keprihatinan kita bersama, tidak hanya bagi pemerintah selaku pemegang kendali kekuasaan, tetapi seluruh masyarakat, untuk bersama-sama memikirkan kelangsungan pendidikan anak-anak kita.

Pendidikan Anak Usia Dini (AUD) merupakan basis pengembangan dan pemberdayaan seluruh aspek kehidupan anak-anak, mulai dari ranah intelektual, kepribadian dan emosional. Karenanya, PAUD sangat penting untuk membangun mentalitas bangsa.

Dunia menghendaki semua negara memerhatikan pendidikan anak usia dini. Setidaknya sejak pertemuan di Jomtien, Thailand, pada 1990. Forum itu melahirkan Deklarasi Jomtien yang isinya antara lain menyatakan pentingnya pendidikan untuk semua, mulai dari kandungan sampai menjelang ajal.

Akar Historis

Secara historis, PAUD di Indonesia sudah dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. Pada 3 Juli 1922 Bapak Pendidikan Indonesia itu mendirikan sekolah anak-anak (usia di bawah 7 tahun) di Jogjakarta dengan nama Taman Indria. Label ”indria” dipakai karena Ki Hajar Dewantara mencermati bahwa anak usia di bawah 7 tahun lebih dominan belajar menggunakan indera (indria).

Untuk tingkat dunia, program PAUD sudah dicanangkan lebih awal dengan lahirnya kinder garten yang dirintis pakar pendidikan Jerman, Friedrich Wilhelm Frobel (1782-1852). Frobel mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia pada 1837. Penamaan kinder (anak-anak) dan garten (taman) akhirnya diadopsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang menggunakan istilah TK

Sesuai Pasal 28 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PAUD diselenggarakan melalui tiga jalur: formal, nonformal dan informal. PAUD jalur formal diselenggarakan dalam bentuk TK dan raudlatul athfal alias TK Islam. Jalur nonformal khusus menangani anak-anak usia 2-4 tahun yang diserap Kelompok Bermain (Play Group) dan Tempat Penitipan Anak. Sedangkan jalur informal adalah pendidikan di keluarga.

Prof. Dr. Bambang Sudibyo sejak menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Oktober 2004, menyatakan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD. Mendiknas meyakini PAUD berdampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Mendiknas mengibaratkan PAUD sebagai masa kecambah. Agar kecambah itu tumbuh secara normal, pendidikan di usia ini lebih mementingkan proses pembelajaran melalui bermain. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai keunikan sendiri. Melalui pendidikan PAUD inilah keunikan tersebut dapat digali.

Berkembang Pesat

Sekitar satu dekade belakangan ini, perkembangan PAUD di Indonesia cukup fenomenal. Ribuan PAUD nonformal tersebar dalam bentuk Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain (play group) dan Satuan PAUD Sejenis di antaranya berupa Bina Keluarga Balita, Taman Pendidikan Quran (TPQ), Sekolah Minggu, dan Taman Penitipan Anak.

Masyarakat berlomba-loma mengelola PAUD. Di Jawa Barat misalnya, PAUD berkembang pesat setelah pencanangan Gerakan Sejuta PAUD, atau Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan gerakan Seribu Pos PAUD. Demikian pula di Jawa Timur yang dikenal paling cepat mengembangkan PAUD.

Hal tersebut tidak lepas dari peran Bank Dunia yang menawarkan proyek melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1996 dengan memberi pinjaman senilai US$ 20 juta. Program awal PAUD itu dilaksanakan di 12 kabupaten di provinsi Jawa Barat (sekarang plus Banten), Bali, dan Sulawesi Selatan.

Hasilnya ternyata cukup menggembirakanpun dan mendapat pujian dari pihak Bank Dunia setelah melihat tingginya apresiasi masyarakat terhadap program PAUD.

Setelah proyek Bank Dunia berakhir (2006) ternyata tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk mneruskan program PAUD. Bahkan di berbagai daerah, PAUD terus dikembangkan dan digerakkan masyarakat secara swadaya, meskipun dari kacamata pragmatis tidak ada “apa-apanya” dibandingkan jalur pendidikan di luar PAUD.

Tetapi fakta tersebut belum mencerminkan gambaran ideal sebuah pendidikan usia dini yang adil dan elegan, dalam arti mampu melayani seluruh masyarakat yang membutuhkan.

Kebijakan Terfokus

Harus diakui, kondisi PAUD di Indonesia tampaknya masih dalam proses pencarian bentuk yang ideal. Di sana-sini PAUD masih dalam tataran uji coba dan masyarakat berusaha mengembangkannya dengan caranya sendiri.

Di sana-sini, keberadaan PAUD hanya bertumpu pada kekuatan komunitas dan berjalan “apa adanya”, tergantung dari kondisi masyarakat sekitar. Jika basis masyarakatnya kuat, maka PAUD bisa berkembang karena terdukung pendanaan yang cukup. Misalnya PAUD di kota-kota besar dengan sarana-prasaranya yang memadai.

Tetapi untuk daerah pedesaan yang minus dengan tingkat apresiasi masyarakat yang rendah, perjalanan PAUD masih tersendat-sendat. Ibaratnya, ada PAUD saja sudah untung.

Sekelumit contoh, misalnya kondisi PAUD di daerah penulis sendiri yang berlokasi di pelosok. Pertama kali berdiri hanya bermodal tekad. Tempat belajarnya pun pinjam gedung milik sebuah organisasi. Jangankan berpikir soal alat-alat permainan edukatif semacam Beyond Center and Circle Time (BCCT), anak-anak mau datang ke sekolah saja sudah untung. Mereka hanya dibebani iuran Rp 5 ribu/ bulan. Itu pun masih ada wali murid yang mengeluh.

Kondisi serupa mungkin terjadi di daerah-daerah lain. Dan sudah saatnya pemerintah dan wakil rakyat membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan ini. Masyarakat menanti hadirnya kebijakan penanganan PAUD secara lebih terfokus, seperti usulan Paulus Mujiran di awal tulisan ini.

Syukurlah mulai tahun 2008 ini pemerintah mengeluarkan kebijakan penanganan PAUD yang lebih tegas dan terfokus, dengan mengoptimalkan layanan PAUD di pedesaan. Pemerintah menargetkan, tahun ini tiap desa di seluruh Indonesia harus memiliki program PAUD, bila perlu sampai ke tingkat RW.Dana untuk tahun 2008 sekitar Rp 400 miliar sudah digulirkan untuk PAUD nonformal dan informal.

Dan tahun 2008 mulai dicanangkan model PAUD yang ideal di 50 kabupaten dari 21 propinsi di seluruh Indonesia. Jika hasilnya bagus, maka Depdiknas berjanji akan menerapkannya pada kabupaten dan provinsi lain. Demikian penjelasan Dirjen Pendidikan Nonformal Informal (PNFI) Depdiknas, Hamid Muhammad, seperti dikutip situs www.endonesia.com.

Mudahan-mudahan rencana itu menjadi kenyataan, mengingat jutaan anak-anak Indonesia, lebih-lebih yang tinggal di kawasan terpencil dan minus secara ekonomi, sangat membutuhkan sentuhan pendidikan yang murah, ramah dan manusiawi.

Nur Khasanah, pengasuh Play Group “Pelita Ananda”