Sabtu, 01 Agustus 2009

PEREMPUAN DI BULAN RAMADHAN

Oleh NUR KHASANAH


BULAN Ramadan telah di ambang pintu. Bulan diwajibkannya berpuasa bagi yang beriman agar mencapai predikat takwa. Orang yang bertakwa tercermin lewat tindakannya yang lurus serta mampu menghadirkan keadilan dan damaian bagi sesama tanpa dihalangi sekat-sekat gender.

Ibadah puasa merupakan sarana yang sangat efektif menghadirkan internalisasi nilai kebajikan, baik dalam ranah individu maupun sosial. Di bulan ini pula kitab suci Al-Quran diturunkan untuk menjadi pedoman hidup manusia agar mampu membedakan baik dan buruk. Di bulan Ramadan pula pintu amal kebajikan dibuka lebar, dan ruang gerak setan (pengajak kejahatan) dipersempit melalui pengekangan nafsu. Begitulah pesan yang kerap disampaikan lewat ceramah agama di berbagai tempat.

Selama ini, setan kerap dimaknai secara vulgar lewat bayangan imajiner berupa mahluk halus yang menyeramkan. Padalah setan sesungguhnya merupakan sebuah refleksi tindakan/ sikap buruk yang mejauhkan manusia dari kebenaran. Bisa dimaknai bahwa segala sesuatu yang dapat menjauhkan manusia dari Tuhan adalah setan, meskipun tampak manis.

Ramadan dengan ibadah puasanya memuat makna-makna spiritualitas pada jiwa manusia dan merupakan training tahunan untuk memantapkan kepribadian muslim agar menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Cita-cita puasa adalah takwa. Orang yang bertakwa bisa dibuktikan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, yang membias lewat perilaku kebajikan dalam hidup keseharian. Dan salah satu bentuk kebajikan tersebut adalah sikap adil terhadap perempuan.

Selama ini tantangan yang dihadapi kaum perempuan dalam menjalankan peranannya adalah terbatasnya ruang penghargaan dan penghormatan akibat dari kuatnya arus patriarkisme, yang berujung pada tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis.

Hadirnya bulan Ramadan, dengan ibadah puasanya, diharapkan mampu mengikir nafsu patriarkisme yang mendominasi selama ini, sehingga kaum perempuan bisa hidup lebih mantap dan aman tanpa dihantui ketakutan lantaran dominasi kaum laki-laki.

Menggapai cita-cita semacam itu memang tidak mudah dalam kehidupan keagamaan yang masih ritualistik-formalistik. Ibadah puasa yang bertujuan untuk meraih predikat takwa mesti dimaknai secara lebih mendalam, yakni takwa dalam makna spiritual dan sosial. Takwa dalam konteks kehidupan sosial adalah sebuah aksi nyata berbuat kebajikan dalam makna yang tidak terbatas. Tidak sekadar khusyuk berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga diikuti dengan berbuat baik terhadap sesama. Sebab tujuan takwa sangat berkaitan dengan kemampuan kontekstual, menfungsikan puasa sebagai media mencapai kesempurnaan diri baik secara individual maupun sosial.

Jasa Perempuan

Maka menjadi sangat penting untuk memikirkan persoalan perempuan terkait dengan hadirnya bulan Ramadan. Praktik ibadah puasa tidak bisa lepas dari peran kaum perempuan yang begitu besar. Kaum perempuanlah yang sesungguhnya banyak berjasa di bulan Ramadhan ini.

Kekuasaan patriarkisme telah menjadikan perempuan sebagai kelompok manusia yang terus-menerus dibebani tanggung jawab domestik (mengurus rumah tangga) mulai dari dapur, sumur dan kasur. Ironisnya pekerjaan beruntun tersebut kerap kali tidak dihargai sebagaimana mestinya. Kesibukan yang begitu panjang menghiasi hari-hari seringkali terabaikan (kelelahannya tidak kelihatan), seolah-olah perempuan tidak melakukan apa-apa.

Pekerjaan domestik yang banyak menyita waktu tersebut hanya dianggap sebuah pengabdian yang mesti dijalani. Lebih-lebih di bulan Ramadan, beban perempuan bertambah berat karena harus menyiapkan segala perlengkapan berpuasa mulai menyiapkan masakan untuk sahur dan berbuka puasa serta mengurus hal-hal lain yang sudah menjadi tanggungannya.

Banyak suami yang tega membiarkan istrinya sibuk luar biasa dan tidak pernah berinisiatif untuk membantunya padahal memiliki waktu luang, dengan alasan tidak layak laki-laki bersikap kethuk (ikut-ikutan di dapur).

Puasa selayaknya bisa menumbuhkan kepekaan dan kepedulian sosial, mengembangkan rasa solidaritas terhadap perempuan dengan menghapus tindak kekerasan maupun penindasan terselubung. Puasa menjadi tidak ada nilainya jika hanya terfokus pada menahan lapar dan dahaga, sementara sensitivitas sosialnya tidak ada dan menutup mata dengan keadaan sekeliling.

Pengakuan kemusliman harus dibuktikan dengan perilaku luhur, meneladani kehidupan Nabi Muhammad saw yang selalu menyayangi para istrinya dan ikut terlibat dalam urusan rumah tangga mulai dari menjahit sepatu, memerah susu dan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya.

Ibadah puasa Ramadan menjadi semacam training untuk menguji mental manusia sampai sejauh mana penghayatan keagamaannya. Apakah mampu menyempurnakan keimanan dalam wujud aksi nyata sehidupan sehari-hari, atau sekadar bangga menghadirkan seremonial tahunan tanpa perubahan apa pun.

NUR KHASANAH, aktivis perempuan tinggal di Batang