Rabu, 31 Desember 2008

Profil MTsM Batang

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur hanya ditujukan kepada Allah SWT atas perkenan dan ijin-Nya, penulisan buku Profil dan Sejarah Masjid Bustanul Jannah Proyonanggan Utara ini bisa terlaksana sesuai rencana. Atas prakarsa berbagai pihak, penelusuran dan penggalian informasi berjalan lancar.

Penyusunan buku semacam ini cukup penting sebagai upaya pendokumentasian data yang tercecer. Ini merupakan langkah awal untuk merekonstruksi aktivitas dakwah Muhammadiyah dalam lingkup paling bawah (ranting) sebagai upaya mewariskan semangat dari aktivis dakwah para pendahulu agar diketahui oleh generasi-generasi berikutnya. Sehingga, sekecil apapun aktivitas dakwah yang dilakukan sebuah komunitas semacam Muhammadiyah bisa dibaca oleh generasi mendatang. Harapannya para kader dan simpatisan Muhammadiyah tidak kehilangan jejak dengan masa lalu. Minimal mereka bisa bercermin dari apa yang pernah dilakukan orang-orang dahulu dan alur dakwah tidak terputus.

Meskipun belum banyak yang bisa dilakukan PRM Proyonanggan Utara, tetapi kami merasa perlu menyusun riwayat ini. Dan memang terlalu dini untuk menyebutnya sebagai sejarah, karena rentang perjalanan waktu yang belum begitu jauh. Tetapi tidak ada salahnya sebuah peristiwa ditulis dan dibukukan lebih awal agar data-data yang ada tidak hilang atau terlupakan.

Apapun keadaannya, keberadaan Masjid Bustanul Jannah merupakan sebuah monumen dakwah, yang di dalamnya tersimpan banyak makna. Masjid ini berdiri karena adanya sebuah desakan kebutuhan, dan karenanya Muhammadiyah bergerak untuk memperjuangkannya.

Sebuah masjid menyimpan banyak nilai kearifan, sebagai basis pembinaan ummat. Masjid sebagai pusat aktivitas spiritual yang diharapkan dapat memancarkan semangat beribadah bagi para jamaah di sekitarnya.

Buku ini tidak semata-mata mendedah peristiwa yang telah lewat dan terjadi pada seputar pendirian masjid. Juga tidak semata-mata memuat data-data fisik, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan reflektif, bahwa di balik berdirinya masjid Bustanul Jannah, ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Ada hal-hal yang menggerakkan hati sekelompok orang untuk bergerak dan berbuat sesuatu.

Dalam realitas sejarah, di mana-mana, masjid dibangun sebagai media dakwah. Semenjak jaman Nabi, auliya dan seterusnya, pendirian masjid bertujuan untuk pembinaan ummat sekaligus simbol persatuan akidah dan kehidupan spiritual.

Bustanul Jannah adalah awal sebuah cita-cita. Para pendirinya berharap, ini bukan sekadar nama sebuah masjid, tetapi di dalamnya ada semangat untuk menggapai sesuatu. Bustanul Jannah menjadi semacam ikon perjalanan dakwah dalam sebuah komunitas Muhammadiyah.

Cita-cita membentuk sebuah ”kebun” yang bisa mengantarkan ke surga adalah menjadi tanggung jawab setiap muslim. Cita-cita semacam itu akan selalu aktulal dan tidak lekang oleh waktu. Dan untuk benar-benar menjadi sebuah kebun yang ideal, tentunya tidak cukup hanya dilakukan generasi sekarang, tetapi perlu diteruskan oleh generasi mendatang.

Semoga terbitnya buku ini dapat memberi kontribusi yang berarti dan mampu menggugah semangat juang bagi generasi mendatang untuk melanjutkan cita-cita para pendahulunya. Semoga Allah SWT meridhoi langklah ini, amin.

Batang, November 2008.

SHALAT ID PERTAMA DI LAPANGAN

Satu hal yang pasti, shalat id di lapangan tersebut bukanlah yang pertama. Dan yang menarik justru cerita yang mengawali pelaksanaan shalat id di lapangan terbuka, yang terjadi tahun 1990-an.

Pada saat itu, setidaknya bagi warga Batang dan sekitarnya, shalat id di tempat terbuka belum begitu membudaya. Bukan lantaran masyarakat tidak mau melaksanakan ajaran sunnah atau tidak mengerti agama, tetapi memang belum ada pihak yang mengawali.

Saat itu, menggelar shalat id di lapangan merupakan sebuah gebrakan yang dianggap nyleneh oleh masyarakat umum. Tetapi bagi yang mengetahui dasar hukumnya tidak menjadi masalah. Justru malah merasa gembira karena selain bias melaksanakan sunnah, juga bisa mengambil khikmah di dalamnya, sekaligus menjawab realitas sosial yang ada dalam masyarakat, utamanya soal keterbatasan tempat shalat (mushalla/ masjid) di lingkungan Proyonanggan Utara.

Harus diakui bahwa di kelurahan Proyonanggan Utara saat itu hanya terdapat beberapa mushallah/ masjid, yang tidak mungkin bisa menampung seluruh jamaah. Ada sebuah analisa sederhana yang cukup menyentuh, dan bias dijadikan lahan berdakwah. Bahwa warga Proyonanggan Utara yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan itu tidak semuanya rajin ke mushalla. Kalau shalat id hanya diikuti jamaah yang biasa ke masjid, maka tentu sangat sedikit. Bahkan boleh jadi, orang yang tidak biasa menginjak mushalla akan merasa malu naik mushalla. Padahal mereka sangat ingin merayakan Hari Raya dan melaksanakan shalat meskipun hanya bersifat tahunan.

Fakta demikianlah yang menjadi bahan pemikiran bagi para pengurus ranting Muhammadiyah untuk merumuskan strategi dakwah yang membumi dan menyentuh hati masyarakat.

Celah-celah semacam itu tampak sederhana, tetapi perlu dijalankan untuk menggiring masyarakat agar mau menjalankan shalat. Bisa dikatakan, inilah model dakwah yang aspiratif dan langsung menjawab kebutuhan masyarakat.

Salah satu karakteristik masyarakat Proyonanggan Utara yang bias diamati saat itu adalah bahwa mereka pada prinsipnya masih bersahaja dalam hal berpikir maupun bertindah, apalagi menyangkut pemahaman keagamaan. Artinya, mereka gampang diajak kompromi dan diarahkan untuk hal-hal yang baik, tergantung dari siapa yang berada di depan (pemimpin).

Kenyataan tersebut bias terbaca lewat pelaksanaan shalat id di lapangan. Pertama kali digelar, jamaahnya cukup melimpah. Warga menerimanya tanpa protes apapun, malah mereka tampak begitu antusias membantu perlengkapan.

Keberhasilan tersebut juga tidak lepas dari kerja s ama yang kompak antara segenap pimpinan ranting dan upaya pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Pengurus tidak bekerja sendirian dan secara intensif melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh setempat seperti aparat desa.

Peran perangkat desa tidak bias diabaikan, terutama ketua RT/RW. Kebetulan yang jadi ketua RW pada saat itu, yakni Bapak Nurhadi Susilo, BA (alm), termasuk sosok yang cukup aspiratif dan mau memahami kebutuhan masyarakat. Dibuktikan, ketika panitia mengajukan ijin mengadakan shalat id di lapangan, beliau langsung tanggap dan mengijinkan. Ketika pendekatan tersebut berhasil, masyarakat pun dengan mudah mengikuti di belakangnya.

Selanjutnya, pelaksanaan shalat id di lapangan menjadi rutinitas tahunan yang diterima warga muslim setempat, bahkan ditunggu-tunggu.


MELAWAN KETAKUTAN

Bagaimanakah sebuah masjid bisa dibangun di atas lahan yang oleh warga sekitar dianggap angker dan menakutkan? Inilah tantangan awal pembangunan masjid Bustanul Jannah Proyonanggan Utara, Batang. Yang ada dalam benak panitia adalah semangat membangun Rumah Allah. Masjid harus berdiri, apapun resikonya, meskipun belum ada dana memadai.

Selain itu muncul pula semangat untuk melawan rasa takut yang bukan pada tempatnya, yakni ketakutan pada hantu dan jenis makhluk halus lainnya yang notabene sama-sama makhluk Tuhan.

Boleh dikatakan masjid Bustanul Jannah dibangun dengan semangat ingin membebaskan masyarakat dari rasa tidak aman lantaran lemahnya akidah dan mudah dipengaruhi oleh cerita-cerita mistik yang tidak jelas asal-usulnya.

Kebetulan, lokasi masjid dulunya merupakan lahan kosong penuh semak belukar dan kotor. Meskipun di dekatnya sudah ada bangunan sekolah, tetapi di sekitarnya masih ditumbuhi aneka pepohonan. Sesuai nama desanya, Kebonan, suasananya memang masih banyak kebun kosong tidak terawat.

Di lahan dekat makam itu meskipun ada jalan kecil, tetapi kalau menjelang sore dan malam hari orang merasa miris kalau melewatinya. Masyarakat percaya, di tempat itu dihuni makhluk halus. Ditambah lagi dengan rumor-rumor mistis yang beredar dari mulut ke mulut semakin menguatkan imajinasi orang tentang keadaan yang menyeramkan. Akibatnya, warga menjadi terbelenggu daya nalarnya dan dihantui ketakutan yang berlebihan pada sosok yang tak jelas. Mereka lebih takut pada daya-daya khayal yang diciptakannya sendiri, melebihi rasa takutnya kepada Allah penguasa alam semesta.

Untuk mendobrak ideologi klenik semacam itu Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara memiliki konsep yang cukup strategis dengan mengikisnya secara perlahan-lahan terhadap pemikiran khayal tersebut dan diarahkan dengan penalaran agama. Tidak ada cara lain kecuali merubah kondisi fisik lingkungan yang semula dikesankan angker menjadi tempat yang banar (menenangkan).

Maka tercetuslah ide membangun masjid di tempat angker itu dengan sebuah asumsi bahwa dengan adanya masjid, diharapkan suasana akan berubah ramai karena dipenuhi jamaah. Harapannya, selain sebagai tempat shalat, masjid juga dijadikan sebagai pusat dakwah menyebarkan ajaran Islam. Masyarakat dididik untuk mengenal ajaran Islam secara mendalam sehingga diharapkan mampu menangkal ketakhayulan.

Berkat ridha Allah SWT, lahan kumuh tersebut oleh pemiliknya, yakni Bapak Mahmud Yunus bin KH Abdul Lathif diserahkan pada Muhammadiyah. Sejak awal Pak Yunus memang memang sudah memiliki niatan mulia untuk mewakafkan sebidang tanah miliknya seluas 660 m2 untuk kemaslahatan ummat. Tanah tersebut, separo dibeli dan sisanya diwakafkan.

Pembangunan benar-benar dilaksanakan dari nol. Panitia berusaha mencari dana dengan melakukan berbagai terobosan, antara lain menggelar pengajian akbar dan mengajukan proposal bantuan ke PP Muhammadiyah dan tahun 1992 bantunan dana turun. Dana tersebut digunakan sebagai modal awal membangun masjid. Peletakan batu pertama dihadiri oleh Bapak KH. Ahmad Dimyati dari PP Muhammadiyah Majlis Tabligh.

Sebelumnya dalam rangka penggalangan d ana juga diselenggarakan pengajian akbar dengan menghadirkan pembicara Hj Sitoresmi. Melalui langkah-langkah semacam itulah akhirnya menumbuhkan simpati dan kepercayaan masyarakat luas. Mereka pun akhirnya terketuk hatinya dan rela membantu mengulurkan bantuannya atas dasar kerelaan masing-masing.

Dalam waktu tidak begitu lama, proses pembangunan pun dilakukan. Panitian dibentuk dan diketuai oleh Bapak HM. Harto Setiyono, BA. Pada tanggal 5 Dzulhijjah 1412 H/ 6 Juni 1992 dibuatlah nota kesepakatan pembangunan masjid Bustanul Jannah dengan dana sebesar Rp. 17 juta yang ditandatangani Ketua PCM Batang, Bapak Slamet Mashal (alm) yang diketahui oleh PWM Jawa Tengah yang pada saat itu diketuai Bapak H. Midchal, BA.

Masjid Bustanul Jannah selesai dibangun tepat waktu, dengan dana total Rp 52 juta. Dan dalam perkembangan kemudian masjid tersebut benar-benar menjadi pusat aktivitas dakwah bagi Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara dan perlahan-lahan ideology takhayyul seputar hantu dan penampakan mulai terkikis. Masyarakat lebih terbuka cakrawala berpikirnya, dan tidak lagi didominasi alur pemikiran mistik yang menyesatkan.

MENGGESER KEMAKSIATAN DENGAN IMAN

Satu lagi yang melecutkan semangat dakwah di Proyonanggan Utara adalah adanya penyakit masyarakat yang merisaukan warga. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa di lingkungan Proyobabggan Utara pada era 1990-an dikenal sebagai area gelap, tempat orang-orang mabuk.Tidak ada cara untuk menggeser kemaksiatan ini kecuali dengan membangun pondasi keimanan bagi warga sekitar.

Menyadari akan bahaya minuman keras (miras) terhadap kehidupan, segenap aktivis dakwah berusaha menangkal kebiasaan buruk itu dengan pendekatan agama. Dakwal melalui jalur pendidikan dirasa cukup efektif untuk membuka kesadaran masyarakat.

Bahkan keberadaan masjid dengan segala dinamikanya ternyata memiliki andil besar dalam menggeser kecenderungan mabuk-mabukan tadi. Praktik kemaksiatan yang semula dilakukan secara terbuka tanpa merasa malu, perlahan-lahan jadi hilang. Para penenggak minuman haram tersebut akhirnya merasa risih sendiri.

Sekali lagi, ternyata masjid juga berfungsi efektif untuk membenahi mental masyarakat. Kharisma masjid dirasakan membias pada lingkungan sekitar. Para pemabuk akhirnya menyadari ketidak-etisan berbuat maksiat di dekat tempat ibadah.

Dakwah menggeser mabuk-mabukan tidak harus dilakukan secara konfrontatif, melainkan bisa juga melalui pendekatan lingkungan dan secara tidak langsung mengajak masyarakat berperilaku positif demi menjaga nama baik lingkungan.

Kalau dahulu Proyonanggan Utara dikenal sebagai kawasan keruh yang berbau tak sedap, maka kini namanya sudah mulai harum. Dan masyarakat kini merasakan sendiri dampak positif kehadiran Muhammadiyah dengan gerakannya yang membumi.

ANTARA KUBURAN DAN KEBUN SURGA

Pemberian nama Bustanul Jannah tidak terlepas dari nilai-nilai filosofi sebuah masjid. Pencetus nama ini adalah Bapak HM. Harto Setiyono, BA. Nama terebut mulanya ada yang tidak menyetujuinya, tetapi akhirnya dengan argument yang masuk akal, Bustanul Jannah dipakai juga.

Semuanya tidak lepas dari akar sejarah pembangunan masjid itu yang menemui jalan berliku. Lahan yang semula angker berubah menjadi tempat ibadah yang menenteramkan, jelas memiliki nilai yang mengesankan.

Bustanul Jannah yang berarti “Kebun Surga” sesungguhnya merupakan ungkapan yang penuh makna (simbol), sekaligus doa. Harapannya, kelak di lingkungan masjid tersebut benar-benar bisa menjelma menjadi sebuah taman indah yang dapat mengantarkan jamaah menjadi penghuni surga (jannah).

Sebuah ajakan mulia pada segenap kaum muslimin, sekaligus mengingatkan bahwa setelah hidup di dunia, ada alam lain yang menampung nasib manusia di hadapan Sang Khalik, apakah kita tergolong orang-orang yang beruntung atau celaka di akhirat.

Masjid Bustanul Jannah yang berdekatan dengan kuburan kuga mengandung isyarat bahwa sadar atau tidak, para jamaah hampir setiap saat diingatkan akan datangnya kematian yang tidak bisa ditolak. Melalui gambaran fisik saja sudah jelas, tiap kali seseorang melintasi lingkungan masjid itu akan melihat nisan-nisan berjejer dan di dalam tanah bersemayam jasad-jasad manusia yang lebih awal dipanggil ke haribaan Ilahi.

Ini merupakan peringatan dan pelajaran harian yang bisa dijadikan bahan renungan. Dan inilah salah satu sisi unik masjid Bustanul Jannah. Meskipun berada di kawasan tidak begitu ramai (tengah-tengah pemukiman penduduk) tetapi mampu menghadirkan aroma spiritual yang kental.

Jarak antara masjid dengan kuburan seolah mengisyaratkan bahwa jarak antara hidup dan mati tidak begitu jauh, hanya berseling jumlah usia manusia yang tidak seberapa.

Bahkan bagi para jamaah yang jeli bisa mengambil pelajaran melalui gaya arsitekturnya. Bangunan masjid Bustanul Jannah yang dirancang oleh Bapak Mochamad Rochim itu sengaja meniru masjid kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Beliaulah yang mengurusi segala sesuatu berkenaan dengan pembangunan, termasuk mengkoordinir para dermawan yang ingin menyumbang material.

Hampir semua srsitektur masjid mengandung makna yang sama, yakni sebagai simbol pendekatan dan penghambaan manusia kepada yang Maha Kuasa. Bangunan kokoh yang dirancang melambangkan fungsi masjid dalam membentuk keimanan masyarakat yang kuat dan mampu menampung jamaah shalat lebih besar. Masjid juga mempunyai persepsi vertikalisme menuju satu titik diatas se-bagai simbol hubungan antara manusia dan Tuhannya (Habluminallah) disamping merupakan simbol perjalanan hidup manusia (sebagai hamba Allah) dalam tiga alam yaitu alam rahim, dunia dan akhirat.

Selain itu, sebuah bangunan, apalagi bangunan yang mempunyai nilai – nilai historis, maka di dalamnya juga memiliki makna tentang maksud dan tujuan bangunan itu didirikan (Konsep Filosofis). Hal ini agar bangunan itu mempunyai karakter atau cerminan tersendiri di sekitar tempatnya berada.

Di dunia arsitektur telah dikenal sebuah konsep untuk bangunan- bangunan yang direncanakan untuk jangka panjang, sebaiknya memenuhi kriteria Fron follow the function atau bentuk mengikuti fungsi.

Masjid sebagai tempat ibadah kepada Allah harus bisa mengesankan ekspresi yang kuat di kala berdoa. Untuk itu struktur bangunan dibuat menonjol seperti layaknya tangan manusia yang menengadahkan tangannya di kala berdoa kepada Allah Azza Wajalla. Pintu utama di Design agar Jemaah waktu memasuki Ruang Utama Masjid menundukan kepalanya ( sedikit membungkuk ), agar jemaah sadar bahwa memasuki rumah Allah sebaiknya tidak bersikap Sombong.

Yang harus memakmurkan Masjid adalah Manusia. Manusia terdiri dari empat unsur yakni: tanah yang dimaknai dengan warna hitam; air dimaknai dengan warna kuning; api dimaknai dengan warna merah dan udara dimaknai dengan warna putih.Bila makna-makna warna itu diaduk menjadi satu, maka akan keluar warna abu-abu, dan inilah warna yang akan diperguakan sebagai alat mempercantik bentuk masjid secara Fisik.

MADRASAH, TEMPAT MENDEDAH KADER MUHAMMADIYAH

Dalam perkembangan berikutnya masjid Bustanul Jannah semakin menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kebun (taman) ketika berdampingan dengan bangunan Madrasan Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) sebagai tempat enyemai bibit-bibit kader yang kelak diharapkan dapat menerima estafet kepemimpinan.

Berdirinya MTsM tidak lepas dari peran sejumlah tokoh (aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah). Pada tahun 1959 berkumpullah sejumlah tokoh antara lain Ibu Chikmah Mohamad, Ibu Chamim Thoha, Ibu Pardijo, Mochamad Soeprapta. Mereka menggelar rapat intern membicarakan persoalan ummat.

Tercetuslah sebuah pemikiran tentang pentingnya mendirikan Muhammadiyah Cabang Batang agar proses dakwah bisa berjalan dengan efektif dan terorganisir. Juga tercetusnya ide membangun lembaga pendidikan (sekolah) sebagai bentuk amal usaha Muhammadiyah. Saat itu belum dirumuskan tentang nama sekolah yang cocok dikembangkan di Batang. Apalagi di Batang juga belum banyak sekolah menengah dan baru ada SMP 1.

Ide penyelenggaraan sekolah Muhammadiyah kian memperoleh perhatian setelah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Batang sudah dilantik di gedung Kabupaten (sekarang pendopo) oleh Bapak Abdul Kadir dari Pekajangan. Saat itu Batang masih masuk wilayah Karesidenan Pekalongan.

Warga Muhammadiyah pun masih bisa dihitung dengan jari dan yang tercatat hanya sekitar 14 orang yang diketuai Bapak Mochamad Soeprapta dan didampingi sejumlah nama antara lain Bapak Mawardi, Bapak Soewartoyo, Bapak Achmad Barowi, KH. Abdul Lathif dan tokoh-tokoh lain.

Lewat pengajian dan kursus-kursus yang diselenggarakan di gedung kabupaten, Muhammadiyah Batang mulai menampakkan bentuknya sebagai sebuah gerakan dakwah, meskipun untuk memasang papan nama masih menemui sejumlah kendala. Selain menyelenggarakan pengajian yang diisi oleh Bapak Mochamad Zaini, di gedung kabupaten juga diselenggarakan shalat Jumat. Dan di tempat itulah warga Muhammadiyah Batang menyelenggarakan ibadah shalat Jumat yang pertama kalinya.

Dan yang cukup menggembirakan, tidak lama kemudian ide tentang sekolah Muhammadiyah mulai diwujudkan dengan mendirikan Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah (PGAM). Itu terjadi pada tahun 1975. Meskipun belum memiliki gedung, para pengurus berani membuka pendaftaran calon siswa dan Alhamdulillah ada sekitar 9 siswa yang mendaftarkan diri. Mereka akhirnya ditampung dan proses belajar mengajar berlangsung sore hari dengan meminjam gedung TK Aisyiyah Kauman. Anak didik terpaksa bersekolah di gedung yang sederhana dengan sarana-prasarana terbatas: tempat duduk menggunakan kursi kecil. Sejumlah murid mengaku sempat minder karena sering diledek oleh murid-murid dari sekolah lain.

Pada tahun 1976 terjadi perubahan kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan, yakni peleburan status PGA menjadi Madrasah Tsanawiyah dan akhirnya PGAM menyesuaikan diri menjadi Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah.

Dalam perjalanannya, MTsM Batang memiliki akar sejarah yang juga berliku dan sempat berpindah-pindah tempat. Sejak berdirinya tahun 1975 mengalami peindahan tempat berkali-kali pindah tempat, semula di Gedung TK, kemudian pindah ke Gedung Pendidikan Muhammadiyah di Jl. Jend Sudirkan (tahun 80-an), kemudian pindah lagi ke Ngaraan, lantas pindah lagi ke Gedung Muhammadiyah Jl. Wahid Hasyim, sebelum akhirnya menempati bangunan permanen di Proyonanggan Utara (mulai 2001 sampai sekarang).

Bangunan fisik yang cukup gagah saat ini dapat terwujud lewat rintisan yang panjang. Para pengampunya berjuang penuh dedikasi untuk membesarkan sekolah ini.

Kita tidak bias melupakan jasa-jasa para pendiri dan pengelola pada masa-masa awal, ketika MTsM mulai dirintis. Sejulah nama yang ikut “babat alas” saat itu antara lain Bapak Mubin Sanusi (alm) Bapak SA Karim (alm), Bapak Mochamad Rochim, Bapak Achmad Barowi (alm), Bapak Suprapto, Bapak Kafrawi, Ibu Umalichah, Bapak HM. Harto Setiyono, BA.

Perjuangan mereka tidak boleh dianggap remeh, bukan saja dalam hal mengusahakan bersirinya bangunan fisik, tetapi bagaimana harus mengelola sebuah lembaga pendidikan yang baik sehingga bisa dipercaya masyarakat.

Dahulu, keputusan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MTsM barangkali dianggap bodoh. Di era 80-an, sekolah ini dianggap sebagai pilihan terakhir, yang menampung anak-anak buangan dari sekolah negeri.

Belum lagi adanya stigma minir dari warga masyarakat yang menganggap remeh organisasi Muhammadiyah. Dan harus diakui bahwa warga Muhammadiyah di Batang saat itu jumlahnya sangat sedikit dan hanya bisa dihitung dengan jari. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mereka yang mengikuti pengajian selapanan di Gedung Pendidikan Muhammadiyah (sekarang MAM dan SMK).

Ada sebuah kisah menarik berkenaan dengan semangat juang para pengelola MTsM saat itu, yang dengan segala keterbatasannya menyelenggarakan proses belajar mengajar. Bagaimana kesabaran para guru dalam mengajar beberapa gelintir murid dengan sarana dan prasarana yang terbatas.

Bahkan di tahun 1980-an siswa/siswi MTsM harus rela sekolah sore karena pagi hari gedung digunakan untuk MAM. Sebuah kenyataan yang cukp melelahkan tentunya, di saat fisik anak-anak maupun para guru terasa lelah mereka harus sekolah. Apapun kenyataannya, sekolah sore menjadi satu-satunya pilihan yang tidak bisa ditolak.

MTsM yang saat itu statusnya masih terdaftar berusaha memberikan layanan pendidikan yang memadai dengan menitikberatkan sisi keagamaan. Ketika layanan pendidikan berbasis keagamaan di Batang masih minim, MTsM berusaha tampil dengan kebersahajaan tetapi penuh kesungguhan, meskipun dengan menghadirkan tenaga pendidik paruh waktu. Pagi hari para guru mengajar di sekolah lain, sementara sorenya mengajar di MTsM. Mereka antara lain Bapak Kafrawi, Bapak Gudharonie, Bapak Sudama HS, Bapak Sahuri, Bapak Achmad Barowi, Ibu Umalichah, Bapak Supardjo, Bapak Subaryanto, dan lain-lain.

Lantas buah apa yang kemudian bisa dipetik dari etos juang semacam itu? Perlahan-lahan MTsM mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Ibarat emas, kadarnya meningkat dan mulai diperhitungkan.

Dari sisi status kelembagaan, MTsM menapaki jenjang-jenjang akreditasi dari status terdaftar tahun 1975 hingga diakui tahun 1991. Menjelang tahun 2006 terakreditasi B. Hingga tahun 2008 jumlah alumnus tercatat 1913 orang.

Perkembangan tersebut tidak lepas dari jasa-jasa para funding father yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga maupun fikirannya untuk berjuang di Jalan Allah. Harus diakui bahwa MTsM merupakan warisan dari orang-orang yang ikhlas berjuang tanpa pamrih. Mulai dari para pengurus, kepala sekolah, guru-guru, dan staf Tata Usaha, semua rela mendedikasikan diri untuk hidupnya sekolah Muhammadiyah yang berbasis keagamaan.

Tidak bisa dilupakan pula jasa-jasa besar sejumlah Kepala Sekolah yang menjadi pandega MTsM antara lain Bapak M. Soeprapta (1975), Bapak S. Abdul Karim (1976-1982 & 1983-1986), Bapak Achmad Barowi (1982-1983), Bapak Mobin Sanusi (1983), dan Bapak Harto Setiyono, BA (1986-sekarang).

SEJARAH PRM PROYONANGGAN UTARA

Berdirinya PRM Proyonanggan Utara tidak lepas dari keberadaan masjid Bustanul Jannah. Ini terkait dengan pengajuan dana bantuan ke PP Muhammadiyah yang mensyaratkan berdirinya ranting Muhammadiyah terlebih dahulu.

PRM Proyo Utara secara resmi berdiri tanggal 18 Shafar 1419 H/ 13 Juni 1998 dengan ketua pertamanya Bapoak HM. Harto, BA. Hal tersebut didasarkan pada Surat Pengesahan Nomor 103/skpd/prm/1995-2000 yang ditanda tangani Ketua PDM Batang Bapak H. Shomadun, BA, dan sekretarisnya Drs. Sholihin Hayat.

Nama-nama lain yang tercantum dalam surat tersebut adalah: Bapak Suradal, Bapak Amiril, Bapak Tri Irianto, Bapak Sri Sujoko, Bapak Abdul Rochim, dan Bapak Haryanto.

Tetapi berdirinya PRM tidak semata-mata didorong oleh rencana pembangunan masjid. Sebab jauh sebelumnya para kader dan simpatisan Muhammadiyah sudah bergerak menjalankan aktivitas dakwah, misalnya dengan menyelenggarakan Madrasah Diniyah yang merupakan enbrio anal usaha Muhammadiyah. Hanya saja, bendera Muhammadiyah sengaja tidak dimunculkan.

Bapak HM. Harto, dkk pada awalnya bergerak lewah wadah PHBI (Panitia Hari Besar Islam). Masyarakat muslim Proyonanggan Utara diajak untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan lewat pengajian-pengajian.

Para pengurus dan aktivis masjid/ mushalla di sekitar Proyonanggan Utara diajak duduk bersama untuk memikirkan strategi dakwah yang dapat menyentuh hati masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan saat itu antara lain shalat id di lapangan, arisan kurban dan membangun tempat ibadah.

Melalui forum-forum pengajian tersebut perlahan-lahan ideologi Muhammadiyah sampai pada pendengar dan bisa diterima masyarakat. Semangat yang ditampilkan saat itu bukanlah mengajak masyarakat masuk Muhammadiyah secara langsung, tetapi yang terpenting ideologi Islam yang dibawa Muhammadiyah bisa diterima oleh masyarakat dan bisa diimplementasikan dalam kehidupan.

Peinsip paling mendasar adalah berusaha agar Muhammadiyah bisa memberikan andil sebanyak-banyak dalam memajukan masyarakat. Dari sisi keanggotaan, warga Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara hanya beberapagelintir orang. Tetapi seiring dengan diaktifkannya forum-forum pengajian, akhirnya menumbuhkan simpati masyarakat. Masyarakat Proyo Utara merasa diuntungkan oleh hadirnya Muhammadiyah.

Dan boleh dikatakan, masuknya Muhammadiyah ke kelurahan ini berjalan lancar dan tidak menimbulkan pertentangan. Tidak ada reaksi keras dari tokoh-tokoh organisasi lain.

Kiprah PRM Proyonanggan Utara semakin nyata setelah dibangn madjid Bustanul Jannah sebagai sentral kegiatan dakwah. Pembinaan warga terus dilakukan lewat forum-forum pengajian.

Tidak ada komentar: